Start up sedang jadi primadona, kita semua setuju. Banyak sekali teman-teman yang benar-benar berharap mendapat dana dari investor untuk mengembangkan bisnisnya.  Nah, bagaimana dengan nasib UKM yang sudah bukan kategori start up lagi? Ini dia, baik pemerintah maupun korporasi berbondong-bondong menyiapkan program CSR atau disebut juga corporate social responsibility.

Sebenarnya CSR adalah bentuk tanggung jawab social korporasi yang telah mengeksploitasi alam sehingga menciptakan kerusakan pada lahan pertanian, hutan hujan dan berhutan daerah, padang rumput dan sumber air tawar semua berisiko. Pada tingkat global, lautan, sungai dan ekosistem air lainnya mengalami kerusakan. Seiring dengan perkembangannya, CSR ini dianggap sebagai anak dari korporasi untuk tetap mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat global, sehingga bisa melakukan proses produksi tanpa henti.

Saya masih ingat ketika mendengar kata Corporate Social Responsibility, ada kesan yang menarik karena pada akhirnya ada inisiatif yang memaksa korporasi untuk mengembalikan apa yang mereka nikmati kepada masyarakat.

Yang saya seringkali sayangkan adalah program CSR ini banyak juga yang terkesan “mengasihani” rakyat kecil dengan “memberi” tunjangan, makanan, sembako, untuk kelangsungan masyarakat. Atau sebagian perusahaan memberikan alat kerja seperti traktor, mesin-mesin, hingga lahan untuk bercocok tanam. Memang tidak ada cara yang lebih kreatif, ya?

Saya setuju dengan CSR yang berarti Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility adalah suatu konsep bahwa korporasi memiliki berbagai bentuk tanggung jawab terhadap seluruh stakeholder seperti customer, supplier, shareholder, masyarakat, dan lingkungan baik secara ekonomi, social dan lingkungan.

Tujuannya adalah agar perusahaan tidak hanya mencetak profit tetapi juga memperhitungkan aspek pembangunan berkelanjutan dari sisi mental, emosi, ekonomi, infrastruktur dan tentunya lingkungan hidup. Saya tidak setuju dengan bagi-bagi sembako karena tidak mendidik, saya juga tidak setuju dengan bagi-bagi uang karena akan habis dalam sekejap bahkan merusak mental pejuang untuk tetap “malas”.

Contoh baru-baru ini PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (Japfa) mengajak siswa sekolah dasar (SD) di Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, untuk lebih peduli terhadap kesehatan dengan prinsip “Lima S” ala Jepang.

Direktur Japfa Herry Wibowo, pada Kampanye Gizi JAPFA4Kids di Sidoarjo mengatakan prinsip lima S ala manajemen Jepang adalah Seiri atau pilah, Seiton atau rapi, Seiso atau resik, Seiketsu atau standarisasi, dan Shitsuke atau rajin.  Ini adalah program yang baik, tetapi, apakah berkelanjutan? Apakah ada yang mengontrol? Apakah bukan hanya untuk program “pencitraan”? Semoga benar-benar berdampak.

Bisnis berbasis kepedulian social

Nah, ada jenis bisnis yang memang berbasis kepedulian social.  Meskipun sifatnya komersil, tetapi tujuannya membangun. Prof. Rhenald Kasali PhD, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sekaligus Pendiri Rumah Perubahan, cakupan konsep social enterprise bersifat luas. Dalam wujud yang paling sederhana, sejumlah keuntungan digunakan untuk mendonasi pihak-pihak yang membutuhkan, seperti panti asuhan serta sekolah  dan rumah sakit untuk masyarakat miskin.

Contoh yang sangat klasik dan out of the box Dokter muda Gamal Albinsaid (24), asal Kota Malang, Jawa Timur meraih penghargaan “The Prince of Wales Young Sustainability Entrepreneur” dari Pangeran Charles di Inggris. Penghargaan itu dia raih dengan menyisihkan 511 wirausaha peserta dari 90 negara.

Keberhasilan itu tak lepas dari upayanya memberikan pelayanan kesehatan dengan sistem Klinik Asuransi Sampah di Kota Malang. Masyarakat bisa berobat dengan layak dilayani dokter professional dengan menggunakan sampah, ya, sampah beneran sebagai alat pembayaran.

Menjadi Orang Yang Berguna

Bisnis harus menguntungkan, bahkan harus bisa membiayai ekspansi agar terus menerus bisa menambah cabang, pabrik, produk yang berkualitas dan melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya.

Nah, para pengusaha berbasis kepedulian social sama sekali tidak mencari popularitas, berpikir “out of the box”, focus pada kesejahteraan masyarakat, memiliki empati yang tinggi dan ternyata, diberkati oleh Tuhan karena niatnya tulus.

Saya berharap, para pengusaha memiliki focus yang diarahkan kepada membangun Indonesia, bukan sekadar profit semata.


 


Salam pencerahan,

Tom MC Ifle


http://topcoachindonesia.com/jangan-kasih-uang-ke-ukm/

Picture source : by google